Dua Sisi Petarung dan Pekerja

Jika mengibaratkan pekerjaan kita sebagai ilmu bela diri, dan Universitas atau Perguruan Tinggi adalah Perguruan Bela Diri, sedang dunia kerja adalah arena atau dunia pertarungan. Maka ada dua tipikal petarung, yang pertama adalah mereka yang menimba ilmu dari perguruan satu ke perguruan lain. Belajar dari guru satu ke guru yang lain. Mempalajari banyak jurus menggunakan sebagian waktunya untuk memperdalam ilmu. Sehingga jangan ditanya, dia memiliki beribu jurus dan ilmu untuk menghadapi berbagai serangan. Jelas orang ini akan menjadi orang yang hebat ketika dia berada di dunia pertarungan.
Tipe kedua adalah orang yang mendapat ilmu dasar, di sebuah perguruan, lalu dia memutuskan atau terpaksa mengembara. Berdasar pada ilmu yang dimiliki, dan insting untuk bertahan hidup, dia sudah memasuki dunia pertarungan. Sering kalah? jelas, masih “hijau” ini. Sering babak belur? mungkin. Karena ada orang yang memang hebat karena bakat, ada yang hebat karena dibentuk dan dibina.
Bagi mereka yang memiliki bakat, mungkin akan lebih cepet untuk jadi hebat, meski tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang tidak memiliki bakat dari lahir untuk bisa menjadi hebat karena kemauan, hanya masa pencapaiaannya yang berbeda, mungkin.
Banyak hal yang menentukan keberhasilannya menjadi seorang jagoan atau pendekar. Faktor keberuntungan? jelas ada, tapi kalau ini yang dijadikan faktor utama, habis perkara, tidak perlu berpikir panjang lebar lagi, tinggal diam aja menunggu keajaiban. hehehe..
Kembali ke faktor, bagaimana lingkungan menerima dan membentuk wataknya, pola pikir, kesempatan yang didapat untuk mencoba, mengembangkan ilmu, akan mempengaruhi kematangan dan cepat tidaknya seseorang untuk berkembang. Dari dalam diri sendiri? Keberanian untuk mencoba, pengambilan keputusan yang tepat untuk “take it or leave it“, juga ikut berperan. Dimanapun, apapun keadaannya, kita semua tahu akan kata pepatah, “kesempatan baik tidak datang dua kali”.
Tempaan keadaan yang didapat di jalanan, oleh petarung tipe kedua ini, menghasilkan orang yang peka akan lingkungan, aware akan keadaan, memahami situasi dengan jeli, insting yang kuat, daya analisa tinggi, dan yang tidak kalah penting, kemampuan untuk problem solving. Bagaimana tidak, keadaan “makan atau dimakan” di dunia pertarungan memaksanya untuk survive, prepare. Seringnya kalah dalam bertarung membuat dia lebih tahu untuk tidak kalah dua kali. Pernah merasakan terpuruk menjadikannya lebih siaga pada pertarungan berikutnya. Dari situpun dia memperoleh pengetahuan bagaimana mengalahkan lawan.
Dalam kurun waktu yang sama, kedua tipe orang ini bisa jadi adalah dua orang hebat, dengan kelebihan masing-masing. Yang satu paham benar akan ilmu, punya banyak pengetahuan, mendapat banyak didikan dan pengalaman dari orang-orang hebat. Yang satu “kenyang” akan tempaan hidup, sudah merasakan jatuh dan berjuang untuk bangkit kembali, dan memiliki banyak pengalaman yang sudah dilalui. Urusan “membunuh” dan mengalahkan lawan, mungkin tipe kedua ini memiliki insting yang lebih tajam.
Back to the real world. Semua orang memiliki kesempatannya masing-masing. Ada yang berkesempatan untuk menuntut ilmu hingga jenjang yang tinggi, kuliah hingga gelarnya kalau ditulis, lebih panjang dari nama aslinya. Sudah sepantasnya orang ini akan menjadi orang hebat. Kalau tidak? sayang sekali.
Dan tidak sedikit juga yang hanya mengenyam pendidikan dasar, atau hanya pengetahuan basic saja. SD, SMP, SMA, S1. Kalau memang keadaan ini yang didapat, apa mau dikata. Pilihannya adalah, segeralah masuki “dunia pertarungan”, karena mau tidak mau, cepat atau lambat, harus berada di dunia itu. Pelajari apapun yang didapat, karena kita tidak mana yang akan berguna kelak. Karena pada usia labil, seperti lulus kuliah S1, atau bekerja sambil kuliah, terkadang pekerjaan apapun diambil, yang penting dapat uang. Banyak orang yang berkata, “ah, kuliahku dulu ngga berguna di kerjaanku yang sekarang”. Kita tidak akan tahu, kalau ternyata suatu saat itu berguna untuk menunjang pekerjaan dan karir di masa depan.
Well, aku mengalaminya. Kuliah komunikasi, sambil bekerja sebagai graphic designer, dan akhirnya menjadi pekerjaan selama bertahun-tahun. Lalu berkembang ke creative agency, event organizer, media cetak, layouter. Toh semua tetap ada benang merahnya (meski sedikit maksa), dan aku bersukur, dunia komunikasi itu global, dan lulusannya adalah bunglon. Bekerja apapun aku waktu itu, tetap aku berpikir, pekerjaan ini ada hubungannya dengan dunia komunikasi. Dan ketika aku sekarang kembali bekerja di dunia komunikasi, semua pengalaman dan pengetahuan di pekerjaan yang lalu, tidak terbuang percuma.
Jadi melebar. Intinya, kita tidak bisa memilih lahir dalam keadaan seperti apa. Bisa menjadi tipikal orang pertama, atau kedua. Yang lebih penting, bagaimana menyikapi dan menyiasati keadaan. Tidak perlu rendah diri, dan tidak perlu juga arogan dan meremehkan orang lain. Dari latar belakang yang berbeda, setiap orang punya kelebihan dan “senjata” masing-masing.
Just share, IMHO.
Post a Comment
You must be logged in to post a comment.